Loading...

Pertumbuhan Jasa Pengiriman dan Kontroversi Zero ODOL: Jalan Panjang Menuju Sistem Logistik Nasional yang Tertib

Membaca Dinamika Industri Ekspedisi Indonesia di Tengah Tantangan Profesionalisme dan Regulasi

Logistik & Regulasi Transportasi 19 July 2025 Husein soleh - tim website
Pertumbuhan Jasa Pengiriman dan Kontroversi Zero ODOL: Jalan Panjang Menuju Sistem Logistik Nasional yang Tertib

Dalam beberapa tahun terakhir, jasa pengiriman di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang begitu pesat. Berdasarkan data, peningkatan sektor ini berkisar antara 8 hingga 11 persen setiap tahunnya. Angka tersebut bukan sekadar statistik, tetapi gambaran nyata tentang bagaimana masyarakat kini sangat bergantung pada sistem distribusi barang yang cepat dan terjangkau.

Perubahan pola konsumsi masyarakat, terutama dengan menjamurnya e-commerce dan platform digital, membuat aktivitas jual beli tak lagi mengenal batas geografis. UMKM di pelosok pun kini bisa mengirim produknya ke kota-kota besar, bahkan hingga ke luar pulau. Dalam konteks ini, jasa pengiriman menjadi jembatan penting yang menghubungkan produsen dengan konsumen, dari kota besar ke desa kecil, atau sebaliknya.

Secara geografis, arus pengiriman barang paling dominan berasal dari wilayah Jabodetabek menuju daerah-daerah lain di Indonesia. Selain itu, pergerakan logistik dari Pulau Jawa ke luar pulau seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua juga mengalami lonjakan signifikan. Barang-barang yang paling sering dikirim meliputi produk fashion, elektronik, kosmetik, hingga produk kesehatan. Hal ini mencerminkan dominasi industri pabrikasi yang banyak berpusat di Pulau Jawa.

Sebaliknya, aliran barang dari luar Jawa menuju Pulau Jawa justru didominasi oleh produk-produk agrikultur, hasil laut, serta kerajinan khas daerah. Ini menunjukkan adanya pertukaran ekonomi antarpulau yang saling melengkapi: dari pusat produksi industri ke pusat kekayaan alam dan budaya lokal.

Namun, di balik laju pertumbuhan tersebut, masih tersimpan berbagai persoalan yang kompleks. Tidak sedikit konsumen yang mengeluhkan barang kiriman yang tidak sampai, rusak, atau terlambat tiba. Masalah lain yang sering muncul adalah kurangnya profesionalisme kurir, terutama dalam menangani barang-barang yang bersifat khusus atau rentan. Bahkan, ada pula insiden kecelakaan lalu lintas yang dipicu oleh truk yang membawa muatan berlebih, yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tapi juga korban jiwa.

Melihat kenyataan ini, pemerintah pun berupaya menata ulang sistem jasa pengiriman melalui sejumlah regulasi. Salah satu regulasi utama adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos yang menyatakan bahwa jasa kurir termasuk dalam kategori jasa pos dan wajib menjamin keamanan serta kerahasiaan kiriman. Selain itu, perusahaan pengiriman diwajibkan untuk melaporkan kegiatannya kepada pemerintah melalui Kominfo.

Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013, pemerintah mempertegas bahwa setiap perusahaan pengiriman harus memiliki izin resmi serta menerapkan standar operasional pada semua tahapan — mulai dari pengambilan, penyortiran, distribusi, hingga pengantaran.

Sementara itu, Kementerian Perhubungan menerbitkan Permenhub Nomor 60 Tahun 2019 yang secara spesifik mengatur tentang pengangkutan barang melalui jalan raya. Dalam regulasi ini, perhatian diberikan pada tiga aspek utama: kapasitas muatan, penempatan barang, serta kelayakan kendaraan.

Namun, yang paling kontroversial adalah diterapkannya kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Loading). Pemerintah secara tegas melarang kendaraan truk mengangkut muatan melebihi kapasitas atau dimensi yang telah ditentukan. Kebijakan ini lahir dari keprihatinan terhadap rusaknya infrastruktur jalan akibat truk ODOL dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas.

Di atas kertas, kebijakan ini tampak sangat masuk akal. Namun di lapangan, suara penolakan justru datang dari mereka yang paling terdampak langsung — para sopir truk dan pelaku jasa logistik. Bagi banyak sopir, bekerja bukan berdasarkan gaji tetap, melainkan dari jumlah muatan yang mereka bawa. Ketika truk ODOL dilarang, otomatis jumlah muatan menurun, dan itu berarti penghasilan mereka ikut menurun.

Situasi ini diperparah oleh maraknya pungutan liar dan premanisme di jalan yang hingga kini belum tertangani dengan serius. Sementara aparat penegak hukum dinilai masih bersikap tebang pilih dalam menerapkan aturan, membuat para sopir kecil merasa semakin tertekan.

Akibatnya, terjadi gelombang protes dan aksi demonstrasi di berbagai daerah. Para sopir menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan Zero ODOL, serta mendesak adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, khususnya Pasal 277, agar pemilik barang dan perusahaan pengiriman juga ikut bertanggung jawab atas pelanggaran. Mereka juga meminta agar tarif logistik minimum ditetapkan, hukum ditegakkan secara merata tanpa diskriminasi, serta diberikan perlindungan berupa BPJS, asuransi, dan fasilitas istirahat yang layak.

Efek dari aksi ini cukup serius. Pengiriman bahan pokok terganggu, distribusi tertunda, dan risiko inflasi mulai menghantui. Kenaikan harga barang menjadi ancaman nyata bagi konsumen, terutama di wilayah yang sangat tergantung pada distribusi logistik antarpulau.

Pada akhirnya, jasa pengiriman memang menjadi tulang punggung sistem perdagangan dan logistik nasional. Namun, pertumbuhannya harus dibarengi dengan regulasi yang adil dan kebijakan yang manusiawi. Pemerintah perlu menjembatani kepentingan antara kelancaran lalu lintas dan keselamatan publik dengan keberlangsungan ekonomi para pelaku jasa pengiriman. Tanpa dialog yang inklusif dan solusi yang konkret, sistem logistik nasional akan terus berada dalam bayang-bayang ketegangan antara aturan dan kenyataan.